Goresan pena menjadi celotehan rahasia di setiap bait puisi. Dalam lembaran kertas yang menyaksi banyak diksi. Tentang lentera kenang dan juga harapan. Yang tak akan hilang, meski pernah merasa kehilangan. Ilusi diri menghantarkan imaji di palung hati. Membuat pena menari di atas kertas tak beralas kaki. Menghanyutkan jiwa dalam halusisani tanpa materi. Membedaki diri untuk mencari jalan dalam mimpi yang terbalut oleh puisi.
Seumpama rasi bintang, penaku adalah bintang-bintang. Ia juga wujud meteor untuk menyuarakan isi hati. Ia juga tubuh dari bara api sejati. Yang darinya segala luka, amarah bahkan cinta dilukiskan. Dan bersama puisi ia disempurnakan. Bagaikan gelap yang memaknai arti sebuah kesunyian, begitu pula puisi yang meceritakan apa kata hati yang tak terucap. Saling mengerti apa yang menjadi titik tujunya.
Pena ini berisi imajinasi yang tak pernah habis. Tak luntur, tak terbatas, kadang berisi nanah, darah atau emas. Ketika perasaan tak bisa diungkapkan lewat kata-kata, ketika bibir tak mampu berbicara, hanya pena yang bisa mengungkapkan itu semua. Coretan tinta hitam di atas kertas putih yang mewakili setiap perasaan.
Penaku merangkai kata dalam sebuah puisi lara. Kukemas duka dalam bejana siksa. Kujadikan sketsa hayal yang fana untuk dinikmati saat kelam menghampiri. Hingga torehan luka demi luka silih berganti. Merongrong raga dan ingin rasanya menjerit membelah langit. Namun apa daya, berbisik pun tak bergemit. Kini, aku hanya bisa termenung melukis dalam renungan. Berkanvas hayal, berpenakan angan.
Namun, di balik semua coretan luka, kutorehkan aksara rasa. Terucap syukur pada Sang Pencipta. Karena segala luka yang kurasa, mengingatkanku bahwa aku masih manusia. Makhluk yang tercipta dengan hati untuk merasa dan akal dengan logika. Dan dengannya kutuliskan kata dalam sajak dan puisi untuk mewakili hati. Kuterbangkan seluruh angan dan harapan dalam diksi kepada Sang Ilahi.
Goresan Pena Family
28 April 2020
Dibuat untuk memperingati Hari Puisi Nasional